Senin, 14 April 2014

SOLUSI PROBLEMATIK SASTRA

SASTRAWAN BERBICARA SISWA BERTANYA:
SEBUAH INOVASI UNTUK MENSTIMULASI KEAKTIFAN SISWA
DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA

Endah Dwi Anggraeni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang

PENDAHULUAN
Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat keaktifan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.
Ketidaktercapaian pengajaran sastra di sekolah tentunya disebabkan karena berbagai hal. Di antara kendala yang seringkali saya temukan dalam pembelajaran sastra Indonesia yaitu bahwa pembelajaran Sastra Indonesia sangat membosankan. Hal ini dikarenakan siswa sudah merasa bisa, serta bentuk penyampaian materi yang kurang menarik sehingga secara tidak langsung siswa menjadi tidak tertarik dan lemah dalam menangkap materi tersebut.
 Selain itu, sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekadar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi keaktifan dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
Problematik pengajaran sastra di sekolah dikaitkan pada sebagian besar Guru Sastra di sekolah yang kurang maksimal dalam menstimulasi keaktifan dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Para siswa tidak diajarkan untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spritual siswa.
Meminjam istilah Taufiq Ismail, pengajaran sastra di sekolah masih gagal menanamkan sikap apresiatif dan keaktifan membaca siswa terhadap karya sastra. Dan yang paling dituding menjadi penyebab utama kegagalan tersebut adalah masih menyatunya siswaan sastra dengan siswaan bahasa Indonesia.
Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Dan hal ini tentu sulit dilakukan oleh guru sastra yang kurang memiliki keaktifan serius dan talenta yang cukup terhadap sastra. Di samping itu, dalam sistem pendidikan di Indonesia, target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional. Tentu saja hal ini memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya, sehingga tidak urung ini memaksa guru sastra untuk menomorduakan sastra.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang guru yang mengajarkan bahasa Indonesia harus bisa menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, dekat dengan dunia siswa sehingga pembelajaran akan terlaksana dengan optimal.`

MEMBAWA KEMBALI SASTRA KE SEKOLAH
Kenapa membawa sastra ke sekolah? Apakah sastra tidak hidup dan berkembang di sekolah? Kenyataan memang begitu. Gairah bersastra belum berurat-berakar di sekolah. Siswa baru sekadar mengenal ilmu sastra, tetapi belum sepenuhnya menekuni sastra sebab masih direcoki oleh siswaan eksakta yang memang menjadi “anak emas” di sekolah.
Maka, program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan guru-guru untuk mengikuti pelatihan sastra seperti yang dilakukan Majalah Sastra Horison ataupun Rumah Puisi, sepatutnya ditiru oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan karakter anak bangsa. Pemerintah daerah hendaknya merangkul seniman dan sastrawan di daerah masing-masing untuk masuk ke sekolah, melampaui batas birokrasi, dengan tujuan memberi memotivasi kepada siswa dan guru untuk menulis karya sastra. Bila tidak demikian, maka sastra akan menjadi “anak tiri”.
Dengan masuknya para sastrawan ke sekolah, setidaknya siswa mengenal lebih dekat sosok sastrawan dan karya sastra yang ditulisnya. Efek yang lebih utama, akan membentuk karakter positif anak didik untuk mencintai memmembaca buku dan menulis karangan yang akhir-akhir ini semakin berkurang.. Namun hal itu tidak akan terjadi bilamana pemerintah daerah lewat dinas pendidikan dan sekolah memerhatikan permasalahan ini secara serius.
Bila dicermati, kemampuan siswa menulis karya sastra bukan kegiatan yang angin lalu atau sekadar memenuhi tugas belajar di kelas. Kemampuan siswa menulis karya sastra sama nilainya dengan kemampuan siswa di ajang Olimpiade Fisika. Bahkan sejak beberapa tahun belakangan, cipta cerpen dan puisi telah dipertandingkan dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Seleksi super ketat dilakukan di tingkat kota, propinsi, hingga nasional. Artinya, menulis karya sastra sama pentingnya dengan bidang-bidang lainnya di dunia pendidikan, bahkan bisa lebih.
SASTRAWAN BERBICARA, SISWA BERTANYA (SBSB)
Berangkat dari permasalahan pembelajaran sastra, maka upaya perbaikan nasib pembelajaran sastra setidaknya memerlukan beberapa strategi.  Salah satunya, sastrawan harus mendekati massa pemmembacanya. Tujuannya yaitu untuk membuka diri agar proses kreatif sastrawan dapat ditangkap oleh apresian sehingga diharapkan hal ini nantinya akan bisa menjadi siswaan yang segar dan lebih menarik bagi siswa. Oleh karena itu acara safari bertajuk “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” yang sudah dilaksanakan di beberapa kota perlu diperluas medan garapannya. Ini merupakan sebuah stimulasi bagus agar siswa lebih terdorong untuk mengapresiasi sastra secara langsung yaitu Di antaranya dengan memmembaca karya-karya sastra, ataupun dengan mencipta kembali karya sastra yan sudah ada, dan bukan dengan menghafal sinopsis, sebagaimana realitas pada umumnya di lembaga pendidikan sekarang ini.
Banyak sekali kendala yang dihadapi daerah berkaitan dengan apresiasi sastra. Mulai dari persoalan sulitnya mendapatkan buku hingga mahalnya harga buku. Maka dengan datangnya sastrawan ke daerah-daerah dapat pula memotivasi siswa, guru, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan pembelajaran sastra, terutama lewat pengadaan buku-buku sastra.   
Apakah Sastrawan Berbicara Siswa Bertanya itu? Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) adalah sebuah acara apresiasi sastra yang menghadirkan sastrawan secara langsung di hadapan para siswa dalam bentuk paparan proses kreatif, tanya jawab dan penampilan karya sastra. Kegiatan ini diprakarsai oleh Penyair Taufik Ismail dengan Majalah Horison. Dengan turunnya sastrawan untuk berbicara langsung kepada siswa, diharapkan keaktifan membaca kalangan siswa, khususnya pada karya satra dan seni, bisa semakin tinggi. 
Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya ini bisa menjadi wadah bagi siswa untuk mencerdaskan emosi dan melatih ekspresi melalui dialog dengan sastrawan. Selain bermanfaat untuk siswa, kegiatan tersebut juga dapat dimanfaatkan bagi guru untuk berdialog dengan sastrawan guna memperdalam materi pengajaran di kelas.

DAMPAK SIGNIFIKAN SASTRAWAN BICARA SISWA BERTANYA (SBSB) DALAM PENINGKATAN APRESIASI SASTRA SISWA
Karya-karya siswa yang dimuat di rubrik Kaki Langit Majalah Horison yang diprakarsai oleh Sastrawan Taufiq Ismail merupakan bukti banyaknya siswa yang kini mulai gemar dan mahir menulis karya sastra. Dalam rubrik ini mereka dibebaskan untuk mengirimkan karya-karya baik puisi maupun cerpen. Hampir semua penulis yang lahir berkat semangat Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Tulisan mereka rata-rata bagus dan unik.
Sebagai sebuah inovasi dalam pembelajaran sastra, acara ini memiliki empat sasaran utama, yaitu: sebagai stimulasi belajar sastra, bertambahnya pengetahuan dan keterampilan, serta sebagai penguatan dalam pembentukan karakter. Sesuai dengan motonya “Berawal dari Keriangan, Berakhir dengan Kearifan”.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pembelajaran sastra yang bertujuan untuk menumbuhkan keaktifan memmembaca dan menulis di kalangan siswa. Berbagai teori pendidikan mengemukakan bahwa pengalaman konkret bagaimanapun jauh lebih efektif dibandingkan pengalaman abstrak. Cara paling efektif untuk meningkatkan keaktifan siswa terhadap musik adalah mendatangkan konser musik dan pemusiknya ke tengah siswa. Demikian pula dengan pengajaran sastra, sosok-sosok yang dibicarakan, sekaligus karya-karyanya yang dibahas secara abstrak di kelas sudah waktunya dihadirkan ke hadapan siswa agar segala pembicaraan yang abstrak mendapat pengayaan pengalaman konkret.
Melalui acara SBSB ini banyak hal (pengetahuan) yang didapatkan oleh siswa.  Dalam workshop tersebut, siswa diajak berani untuk mengembangkan keaktifannya dan juga berani berkarya. Para sastrawan membagi kelas dalam beberapa kelompok dan siswa diharuskan memilih menjadi anggota kelompok yang dikeaktifaninya. Setelah itu, mereka diajak untuk berkarya membuat puisi bertema aku ingin, berpantun, dan menulis cerpen dengan tema-tema yang unik, seperti: Maling Jemuran.
 Melalui kegiatan menulis cerpen dalam waktu yang cukup singkat, para siswa diajak untuk mengembangkan imajinasi. Sebelum menulis, para siswa mendengarkan pemmembacaan sebuah cerita. Setelah itu, para siswa harus melanjutkan cerita tersebut secara tertulis sesuai dengan tema-tema yang ditentukan. Selanjutnya, sastrawan mengajak siswa untuk mengolah kata (diksi).
Tambahan pengetahuan lainnya adalah para siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Sebagai acara penutup, pada sesi terakhir, peserta menampilkan kebolehan mereka di hadapan para tamu dan penonton.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) membuktikan bahwa sastra ternyata juga bisa memberikan hiburan yang luar biasa menyenangkan seperti halnya konser musik band-band terkenal. Para sastrawan juga mampu memadukan kreatifitas dengan kebutuhan hiburan sehingga karya sastra bisa tampil sebagai sebuah karya seni yang patut mendapat apresiasi positif. Inilah salah satu nilai penting yang dapat disiswai oleh siswa. Karya sastra bukanlah sesuatu yang menakutkan ataupun membosankan. Tapi, karya sastra adalah sebuah hasil kreatifitas tingkat tinggi yang sarat makna sekaligus juga menghibur.  Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) pada akhirnya akan mampu mendekatkan para siswa pada berbagai macam karya sastra sekaligus juga mampu mengapresiasinya dengan baik dan mendapatkan nilai-nilai positif daripadanya. Inilah muara akhir dari belajar sastra.
  Selain pengetahuan, melalui SBSB ini siswa juga akan mendapatkan tambahan keterampilan, khususnya dalam menulis. Mereka mendapatkan kunci bagaimana mengembangkan imajinasi, mengolah kata dan menghasilkan karya. Modal utamanya, para siswa dirangsang untuk banyak-banyak memmembaca. Inilah hal yang memiliki dampak positif untuk mengembangkan kebiasaan memmembaca. Selama ini, para siswa di Indonesia masih (malas) memmembaca. Kegiatan memmembaca baru sebatas paksaan belum menjadi sebuah budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan acara ini,mudah-mudahan suatu saat kelak, para siswa itu termotivasi dan merasa butuh untuk memmembaca secara berkesinambungan. Bukankah memmembaca merupakan jendela dunia dan gudang ilmu ?
Pembentukan karakter juga menjadi sasaran utama dalam acara ini. Saat ini negara kita tercinta sedang menghadapi persoalan yang cukup krusial. Melalui tayangan televisi dan media cetak, kita menyaksikan diantarya pekelahian/ tawuran remaja, tontonan vulgar, dan konsumsi narkoba. Jika kita amati dengan seksama, akan terlihat benang merah semua persoalan itu yang bermuara pada terpinggirkannya pendidikan karakter bangsa. Salah satu pendekatan yang dilakukan pada bidang olah rasa yaitu melalui pendidikan sastra. Sebab di dalam pendidikan sastra terkandung nilai-nilai luhur bangsa, nilai etika dan moral yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk memasyaatkan sastra, maka sastrawan pun perlu digandeng.

PENUTUP
Dengan adanya inovasi seperti ini,    siswa diharapkan lebih terdorong untuk belajar sastra  dengan maksimal dan menyenangkan. Disamping itu, Guru Sastra Indonesia hendaknya juga harus mampu menyajikan siswaan itu dengan berbagai macam metode yang menarik dan membuat siswa senang belajar Bahasa Indonesia. Dengan demikian, siswaan Bahasa Indonesia bukan lagi hanya sekedar beban dalam proses kelulusan, tapi siswaan Bahasa Indonesia juga memiliki manfaat dalam kehidupan siswa nantinya. Di antaranya dalam pembentukan karakter siswa, yang mana siswa adalah calon generasi penerus bangsa. Sehingga diharapkan bangsa ini nantinya akan lebih baik moralnya, juga masa depannya.








DAFTAR PUSTAKA
Tomoredjo, Mampuono Rasyidin, Penguasaan ICT: Bekal Guru Profesional Menghadapi Era Global , (online) tersedia pada http://www.jatengklubguru.com.
Undang-Undang no 14 Tahun 2005. tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi.
Uno, Hamzah B. 2009. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2007. Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra: disampaikan pada Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, 10 April 20007. Pernah dipublikasikan di Koran Republika, 29 April 2007.







RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI DIENG


MAKALAH
TRADISI RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL 
DI DIENG
(SEBUAH KAJIAN BUDAYA DI KABUPATEN BANJARNEGARA-WONOSOBO)
Oleh: Endah Dwi Anggraeni
Mahasiswi Universitas Negeri Semarang


Pendahuluan
Masyarakat Jawa sebagai salah satu golongan etnis di Indonesia tampak mempunyai sikap hidup yang berbeda dengan golongan etnis lainnya. Asal- usul orang jawa, tradisi orang jawa merupakan salah satu landasan sikap hidup orang jawa. Untuk mengungkap sikap orang Jawa diperlukan pengetahuan asal- usul dan kehidupannya menurut adat serta tradisinya.
Kabupaten Wonosobo termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonosobo merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 270-2.250 meter di atas permukaan laut. Sebagai ibu kota Kabupaten,Wonosobo mempunyai ketinggian 772 meter di atas permukaan laut. Daerah Wonosobo dikelilingi oleh gunung Sindoro, pegunungan Dieng, dan gunung Perahu.
Di daerah Wonosobo terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Dieng. Ritual ini bertujuan untuk mengembalikan rambut gimbal kepada yang Maha Kuasa, dan agar pemilik rambut gimbal yang menitipkan pada anak tersebut rela rambutnya dicukur serta di kembalikan kepada Sang Khalik. Selain itu si anak yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan kesehatan. Diharapkan dengan penyusunan makalah ini, para pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang tradisi ruwatan rambut gimbal ini.
Dieng, Gunung Tempat Bersemayamnya Dewa-Dewi
Dieng berasal dari dua kata yaitu “ di “ ( bahasa Sunda Kuno ) yang berarti tempat atau gunung, dan “ hyang “ ( bahasa Sunda Kuno ) yang berarti dewa. Dengan demikian, Dieng berarti daerah tempat para Dewa. Dieng adalah dataran tinggi yang masih wilayah kabupaten Wonosobo dan sebagian Kabupaten Banjarnegara. Letaknya disebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng memiliki berbagai macam pesona wisata, seperti kawah, telaga, dan candi. Serta mempunyai kesenian daerah seperti angklung, kuda kepang dan lain-lain. Makana khas yang berasal dari Dieng yang susah ditemukan di daerah lain adalah jamur Dieng, dan manisan Carica. Hal yang menarik dari Dieng selain pesona wisata, kesenian dan makanan khasnya yaitu sebagian masyarakatnya yang berambut gimbal.

Sejarah Rambut Gimbal; Titisan Leluhur Dieng
Konon kabarnya, Anak Gimbal Dieng adalah titisan dari Kyai Kolodete. Kyai Kolodete dianggap sebagai luluhur pendiri Dieng. Leluhur ini bukan sesosok gaib, melainkan sesosok manusia yang pertama kali membuka tanah Dieng. Ia hidup pada masa kejayaan Mataram. Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal.
Syahdan, Kyai Kolodete dikenal sebagai seorang pemimpin, seorang penasihat dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat di daerah Kawedanan Kertek dan sekitarnya. Jabatan formalnya adalah sebagai kebayan desa Tegalsari, Kertek, Wonosobo.
Kyai Kolodete berkeinginan bisa memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya. Maka, agar keinginannya lebih bisa direalisasikan, beliau bermaksud menjadi Lurah. Maksud ini mendapat dukungan kuat dari masyarakatnya. Masyarakat sudah menganggap bahwa dari sifatnya dan sikapnya, Kyai Kolidete dipandang telah memenuhi syarat sebagai Lurah.
Pada suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai sebagai Lurah. Permohonan ini diajukan ke pemerintah pusat, yaitu Mataram. Namun, tanpa diketahui alasannya, permintaan itu ditolak. Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi kecewa.
Demikian juga dengan Kyai Kolodete. Beliau merasa malu terhadap rakyatnya. Sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau ingin mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng. Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya:
“Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“(Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng).
Dalam setiap doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat bisa terkabul. Meski ia jauh menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti itu ialah supaya anak cucunya nanti di kemudian hari akan berambut gimbal seperti halnya rambut Kyai Kolodete. Dan, permohonan itu benar-benar dikabulkan sang Khaliq.
Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gimbal. Oleh masyarakat, anak berambut gimbal ini disebut Anak Gimbal dan dianggap titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Namun, cerita itu bukan versi satu-satunya tentang Kyai Kolodete dan Anak Gimbalnya.
Ada versi cerita lain tentang Kyai Kolodete dan rambut gimbal yang berkaitan dengan mitos Nyi Roro Kidul, penguasa Ratu Selatan Jawa. Cerita ini disadur dari penuturan Mbah Naryono, pemangku adat Dieng Kulon, Kec. Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Syahdan, datangnya rambut gimbal sebenarnya berasal dari Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul menitipkan rambut gimbal kepada Tumenggung Kolodete. Tumenggung Kolodete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng.
Singkatnya, keturunan gaib dari Tumenggung Kolodete akan mempunyai rambut gimbal. Keturunan gaib ini adalah anak bajang titipan Nyi Roro Kidul. Suatu saat rambut gimbal anak bajang akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. Pengembalian rambut gimbal dilakukan melalui ruwatan dimana rambut gimbal yang diruwat dilarung ke saluran air yang mengalir ke Laut Selatan Jawa.
Satu lagi versi cerita tentang Kyai Kolodete. Kali ini saya peroleh berhubungan dengan sejarah Wonosobo. Konon ceritanya bahwa Kyai Kolodete merupakan satu dari tiga tokoh yang mendirikan Kota Wonosobo, yakni bersama dengan Kyai Walik dan Kyai Karim.
Kyai Walik merancang tata kota Wonosobo. Kyai Karim menjadi peletak dasar-dasar pemerintahan di Wonosobo.Dan, Kyai Kolodete pergi ke Wonosobo bagian utara di kawasan Dieng membuat perkampungan. Ketiga tokoh itu menjalin kerjasama yang erat, saling mendukung dan melengkapi demi memajukan perkampungan Wonosobo.
Kyai Kolodete bersama keluarga dan pengikutnya membabat alas Dieng yang masih perawan. Tujuannya adalah untuk dijadikan perkampungan penduduk, lahan pertanian, dan ladang sebagai sumber penghidupan. Kyai Kolodete kemudian diyakini menjadi ‘merkayangan’ atau penguasa Dieng.
Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal semenjak kecil. Menurut mitosnya, lantaran rambut gimbalnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai Kolodete berpesan agar anak cucunya membantu dalam menghadapi gangguan rambut itu. Maka, diwariskanlah rambut gimbalnya pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng hingga sampai sekarang.
Ada benang merah yang bisa menghubungkan versi-versi cerita leluhur Dieng dan muasal Rambut Gimbal. Semua sama-sama membicarakan Kyai Kolodete. Semua sepakat bahwa Kyai Kolodete adalah leluhur Dieng yang ‘menitiskan’ rambut Gimbal kepada bocah-bocah Dieng.

Munculnya Rambut Gimbal
Seorang anak berambut gimbal mula-mula mengidap penyakit panas, kemudian rambutnya tumbuh tidak selayaknya, dirambutnya tumbuh gimbal. Hal lain yang menyebabkan seseorang berambut gimbal adalah kurangnya perawatan terhadap si anak. Kebanyakan anak yang berambut gimbal adalah berasal dari keluarga petani, dimana kesehariannya orang tua mereka bekerja di ladang. Sehingga orang tua mereka kurang memperhatikan kebersihan anaknya, khususnya kebersihan rambut.
Jadi latar belakang tumbuhnya rambut gimbal pada anak rambut gimbal di dataran tinggi Dieng disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, genetis (keturunan). Faktor keturunan dipercaya dapat menyebabkan seorang anak berambut gimbal. Jika ditelusuri,seorang ibu atau ”si mbok”, mbah, buyut dari anak yang berambut gimbal ternyata dulunya juga berambut gimbal. Kedua, masyarakat dataran tinggi Dieng memiliki keyakinan bahwa anak rambut gimbal merupakan takdir Yang Maha Kuasa. Ketiga, faktor kesehatan (demam tinggi, kurangnya menjaga kebersihan badan dan pola asuh orang tua) dipengaruhi oleh keadaan geografis dataran tinggi dieng yang bersuhu dingin sekitar 15 C°. menyebabkan seorang anak berambut gimbal. Dinginnya suhu udara menyebabkan seorang anak malas untuk mandi dan mencuci rambutnya, sehingga rambutnya kotor dan menjadi gimbal.

Rambut Gimbal Dilihat dari Segi Kesehatan
Jika dilihat dari segi kesehatan, seorang anak yang berambut gimbal itu dikarenakan kurangnya kesadaran akan  kebersihan pada tubuh mereka sendiri. Sehingga menimbulkan berbagai penyakit misalnya rambut menjadi gatal, dan menjadi menggumpal (gimbal), selain itu si anak juga merasakan demam tinggi yang membuat kepala akan terasa panas.
Menurut ahli kesehatan, anak yang memiliki rambut gimbal tidak banyak mempengaruhi kesehatan, tetapi jika hal itu dibiasakan maka masyarakat akan terbiasa dengan pola hidup yang tidak sehat. Dan akan menimbulkan penyakit lainnya misalnya gatal-gatal pada tubuh yang membuat infeksi atau penyakit kulit lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya rambut gimbal tidak berbahaya bagi tubuh manusia. Hanya saja akan terlihat kurang rapi dan membuat orang akan risih melihatnya, namun jika pola hidup masyarakat masih seperti itu, hal ini dapat menimbulkan penyakit yang lain yang tentunya akan membahayakan manusia sendiri. Maka yang perlu kita ubah adalah pola kebiasaan masyarakat didataran tinggi dieng agar mereka merubah pola hidup menjadi lebih bersih.

Kapan Rambut Gimbal Boleh Dipotong?
Tidak ada patokan yang pasti pada anak umur berapa rambut gimbal akan dipotong (disebut potong gombak), akan tetapi hal tersebut akan dilakukan pada saat anak telah cukup umur (lebih kurang dari 7 – 10 tahun)  dan orang tuanya telah sanggup memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.
Potong gimbal dilakukan setelah anak memintanya untuk dipotong. Pada umumnya disertai dengan permintaan si anak yang harus dituruti, seperti minta dibelikan kambing, sapi, uang, mainan anak-anak, atau benda-benda lain. Tidak ada pola tentang permintaan anak gimbal ini, bisa mulai dari permintaan yang sederhana sampai dengan yang tidak mungkin dituruti oleh orangtuanya. Bahkan menurut pak Agus, pernah ada anak imbal yang minta kepala ayahnya. Sehingga permintaan ini tidak dapat dituruti, dan rambut anak itu pun tidak dipotong hingga dewasa bahkan meninggal dunia.
Setelah permintaan dipenuhi, syaratnya berikutnya harus diadakan ruwatan. Sesaji-sesaji yang disediakan pada acara ruwatan ini merupakan lambang permohonan petunjuk dan keselamatan bagi perjalanan hidup si anak. Ada beberapa sesaji yang biasa digunakan, seperti (1) Ambeng bodro, berupa nasi yang dikelilingi lauk pauk tempe, tahu dan telur,
(2) Ambeng bobrok, berupa ketan yang diberi gula merah, jenang merah putih serta jajan pasar, dan (3) Sesaji lain yang diperlukan antara lain : kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir serta cermin, dan lain-lain.
Nilai sesaji ini sangat bergantung pada kemampuan masyarakat yang menyelenggarakan, sehingga hal ini akan dilaksanakan bila orang tua sudah siap. Bahkan bila mempunyai kemampuan lebih sering diselenggarakan dengan pergelaran wayang kulit.

Karakteristik Anak Berambut Gimbal
Anak-anak berambut gimbal terbilang langka dan jarang kita jumpai seantero wilayah nusantara ini. Sebagian besar dapat kita temukan di wilayah Kabupaten Wonosobo dan sebagian di Kabupaten Banjarnegara serta di lereng Merbabu. Ruwatan Cukur Rambut Gimbal secara tradisional hingga kini masih berjalan turun temurun, terutama di Dataran Tinggi Dieng dan Lereng Sindoro Sumbing. Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo meramu kegiatan tradisi ini menjadi asset budaya daerah melalui kegiatan tahunan Subdin Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo.
Dari wujudnya, antara helaian-helaian rambut gimbal saling merekat dan mengikat. Sampai-sampai tidak bisa disisir. Rambut gimbal bisa tumbuh hanya satu ikat. Atau bisa tumbuh paling sempurna, yakni banyak ikat yang disebut rambut gimbal jenis “pari” atau padi.
Dalam kesehariannya, anak-anak gimbal tidak berbeda dibandingkan teman-temannya. Perlakuan orang-orang kepadanya juga biasa saja, tidak spesial. Hanya saja mereka cenderung lebih aktif, kuat, suka rewel dan agak nakal. Menariknya, apabila bermain dengan sesama anak gimbal, pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka.
Anehnya lagi, si anak gimbal ketika diruwat tak cukup minta dicukur saja. Ia akan menyertainya dengan suatu permintaan. Ia memiliki keinginan yang harus dipenuhi orang tuanya sebelum dilaksanakan Ruwatan. Apapun itu keinginannya harus dituruti. Kalau pencukuran dipaksa tidak disertai pemenuhan keinginan terlebih dulu, anak gimbal itu bisa jadi linglung bahkan gila.
Kondisi anak yang begitu selanjutnya disebut anak “sukerta” yaitu anak yang dicadangkan menjadi mangsa Batharakala (pengaruh budaya wayang). Untuk melepaskan dan mengangkat kembali anak dari kondisi sialnya itu atau membersihkan sesukernya (gimbalnya) harus dilakukan upacara ruwatan.
Tipe rambut gimbal dapat dibedakan dari dua golongan besar yaitu menurut jenis rambut dan letak tumbuhnya.
Menurut jenis rambutnya ada tiga model:
1.        Gimbal Pari yaitu model gimbal yang tumbuh memanjang membentuk ikatan rambut kecil-kecil menyerupai bentuk padi. Tipe ini berasal dari jenis rambut lurus dan tipis.
2.        Gimbal Jatha yaitu corak gimbal yang merupakan kumpulan rambut gimbal yang besar-besar tetapi tidak lekat menjadi satu. Jenis ini berasal dari rambut lurus dan tebal.
3.        Gimbal Wedhus/Gimbal Debleng yaitu model gimbal yang merupakan kumpulan rambut besar-besar menjadi satu menyerupai bulu domba. Tipe ini berasal dari rambut berombak/kriting.
Sedangkan menurut letak tumbuhnya:
1.        Gimbal Gombak yaitu tipe gimbal yang letak tumbuhnya di bagian belakang kepala.
2.        Gimbal Pethek yaitu tipe gimbal yang tumbuhnya di bagian samping kepala di atas telinga.
3.        Gimbal Kuncung yaitu tipe gimbal yang letak tumbuhnya di daerah ubun-ubun bagian tengah agak kedepan bagian kepala.

Makna Ruwatan
Ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya melepaskan yaitu melepaskan dari nasib sialnya, dari kondisi terbelenggu adaptasi, melepaskan dari karakteristik anak yang cenderung aneh agar kembali tumbuh normal sebagaimana anak yang lain. Acara Ruwatan tidak dapat dipaksakan oleh orang tuanya tetapi setelah anak mengajukan permintaan sebagai persyaratan khusus yang disebut “bebana” atau permintaan. Dari pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan Dinas Pariwisata sangatlah beragam bebana yang dimintanya, dan kitapun sebagai pelayan hanya mengiyakan dan berusaha memenuhinya. Sebab kalau tidak dipenuhi rambut gimbal yang telah dicukurnya akan tumbuh kembali dan kondisi kesehatan akan terganggu, badan akan terasa panas dingin bahkan sampai ada yang mengigau dan kejang-kejang.

Beberapa perlengkapan ruwatan:
1.        Tumpeng Robyong
Tumpeng Robyong adalah tumpeng putih di atasnya ditancapkan berbagai jajan pasar sebuah penggambaran Rambut Gimbal yang dipersembahkan untuk Kyai Kolodete.
Makna:   Bahwa hidup ini senantiasa dikelilingi berbagai sifat-sifat kehidupan siluman, agar lepas dari gangguan itu harus dibuat sesaji tumpeng robyong untuk meruwat si anak gimbal dari cengkeraman siluman agar kembali berkembang secara wajar.
2.        Tumpeng Kalung
Tumpeng Putih dihiasi kalung kelapa muda.
Makna:   Dibuatnya tumpeng kalung adalah sebuah ciri dimana anak gimbal sesudah diruwat akan dapat meneruskan perjuangan hidup dan senantiasa berbakti kepada orang tua, guru, dan pemerintah serta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Versi Lain
Dalam pembuatan tumpeng atau bucu pada dasarnya ada 3 macam yaitu: bucu putih, bucu kuning, dan bucu robyong.
1.        Bucu Putih melambangkan keselamatan bagi si anak.
2.        Bucu Kuning melambangkan korban persembahan kepada Nabi Muhammad SAW.
3.        Bucu Robyong sebagai persembahan kepada Kyai Kolodete yang diyakini menitipkan gimbal kepada anaknya.
3.        Ingkung Ayam
Ingkung Ayam harus jantan dimasak utuh setelah dibersihkan luar dan dalamnya.
Makna:   Orang itu harus bersih luar dan dalamnya agar sepanjang perjalanan hidupnya menemui kebahagiaan yang sejati.
4.        Jajan Pasar
Jajan pasar adalah berbagai jenis makanan kecil yang biasa dijual di pasar-pasar.
Makna:   Jajan pasar adalah jajan yang lazim diminta anak-anak kecil. Artinya diharapkan setelah dewasa tidak lagi seperti anak kecil, tetapi dapat hidup mandiri dapat menjadi panutan atau menjadi teladan.
5.        Minuman Lengkap
Minuman lengkap yang dimaksudkan adalah teh, kopi, air putih, dll, atau menurut versi kedaerahan.
Makna:   Sesaji ini melambangkan baktinya anak cucu kepada Pundensari yang menjadi utusan Tuhan dalam menguasai jagad raya dan senantiasa siap sedia menciptakan kesejahteraan bersama (mamayu hayuning bawana).
6.        Sesaji Larungan
Untuk melarung Rambut Gimbal yang telah dipotong dilengkapi sesaji sebagai berikut:
1)        Mawar merah                   : Lambang keberanian
2)        Mawar putih                     : Lambang kesucian
3)        Kanthil                             : Selalu dikenang (kumanthil)
4)        Kenanga                           : Menjadi kenangan seumur hidupnya
5)        Cempaka                          : Lambang kebahagiaan
6)        Kacapiring                        : Orang harus mampu mengintrospeksi diri (mawas diri)
7)        Melati                               : Berharap dapat mencapai keharuman nama
8)        Sawur
a.     Beras kuning (lambang pengorbanan)
b.    Kembang setaman (lambang keindahan, kebahagiaan)
c.    Kembang telon (terdiri dari tiga macam kembang), yang bermakna bahwa kebutuhan pokok orang hidup ada tiga macam yaitu sandang, pangan, dan papan.

Prosesi Ruwatan Anak Gimbal
Bagaimana melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan keluarga yang meruwat anak gimbalnya.
Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya besar. Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Saya bisa bayangkan pasti hanya keluarga ‘borjuis’ Dieng yang bisa melakukan ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.
Maka, masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara massal. Masyarakat ‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong-bondong datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng.
Lazimnya, setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat pelaksanaan Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu lazimnya. Tak jadi masalah kapanpun ruwatan dilakukan.
Dalam pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah Pemuka Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan Anak Gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna. Halaman rumah Pemuka Adat menjadi tempat pemberangkatan Kirab. Kirab ini menyertakan barang-barang permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni dari penduduk sekitar.
Kirab berjalan dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas. Napak tilas ini menuju beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Bima, sendang Maerokotjo, telaga Balekambang, kawah Sikidang, komplek pertapaan Mandalasari, kali Kepek dan komplek pemakaman Dieng. Pada saat kirab berjalan, para anak gimbal akan dilempari beras kuning dan uang koin.
Kirab lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu. Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu).
Setelah penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat pencukuran, yakni di kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut gimbal merupakan puncak prosesi Ruwatan Anak Gimbal.
Prosesi Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu, orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal. Pencukuran dilakukan di halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut gimbal selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman.
Setelah pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua ‘uborampe’ prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa berkah pada yang membawanya.
Ritual terakhir dalam ruwatan anak gimbal adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini dilakukan di Sendang Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna. Tempat-tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.

Penutup
Dieng adalah nirwana dunia di Tanah Jawa. Bumi vulkaniknya terukir beraneka ragam keindahan, kesuburan dan kekayaan alam yang luar biasa. Pesona budayanya terhampar berserakan mewarnai setiap sudut ruangnya. Namun itu tak cukup. Teristimewa ada manusia indigenous yang unik sarat nuansa mistik, Anak Gimbal Dieng. Kehadirannya menjadi perhiasan yang mengagungkan Dieng, Negeri Para Dewa.
Demikian “titisan” Kyai Kolodete yang legendaris mampu menembus dimensi waktu. Jikalau dulu Kyai Kolodete telah memberikan manfaat untuk masyarakat Dieng, semoga para anak gimbal  juga bermanfaat bagi kesejahteraan Dieng suatu saat nanti. Tak sekadar dititiskan gimbalnya, tetapi dititiskan pula kontribusinya untuk Dieng. Anak Gimbal menjadi harapan penggerak Dieng. Menjadi lokomotif kemajuan.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.1990.Pengantar Ilmu Antropologi.Rineka Cipta:Jakarta
Poloma, M. Margaret.2000.Sosiologi Kotemporer.Rajawali Pers:Jakarta
Soekanto, Soerjono.2006.Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali Pers:Jakarta
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto.2005.Kanisius:Jakarta
Sztompka, Piotr.2004.Sosiologi Perubahan Sosial. Predana:Jakarta
(Online), http://arsyadfardani.blogspot.com/2011/04/tradisi-cukur-gimbal diakses pada tanggal 23 November 2013 pukul 11:44 WIB
http://kajianbudayaokal.blogspot.com/2011/wonosobo//gimbal diakses pada tanggal 23 November 20123pukul 11:46 WIB