SASTRAWAN BERBICARA SISWA BERTANYA:
SEBUAH INOVASI UNTUK MENSTIMULASI KEAKTIFAN
SISWA
DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA
Endah
Dwi Anggraeni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
PENDAHULUAN
Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK,
tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat
keaktifan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.
Ketidaktercapaian
pengajaran sastra di sekolah tentunya disebabkan karena berbagai
hal. Di antara kendala yang seringkali saya temukan dalam pembelajaran
sastra Indonesia yaitu bahwa pembelajaran Sastra Indonesia sangat
membosankan.
Hal ini dikarenakan siswa sudah merasa bisa, serta bentuk penyampaian materi yang kurang menarik sehingga secara tidak langsung
siswa menjadi tidak
tertarik dan lemah dalam menangkap materi tersebut.
Selain itu, sikap yang kurang apresiatif
muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas
(2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekadar memenuhi
tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat
dihati siswa. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang
mempengaruhi keaktifan dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan
baik.
Problematik pengajaran sastra di sekolah
dikaitkan pada sebagian besar Guru Sastra di sekolah yang kurang maksimal dalam
menstimulasi keaktifan dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Para siswa tidak
diajarkan untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar
menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa
yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja,
sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran
sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah
“membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spritual siswa.
Meminjam istilah Taufiq Ismail, pengajaran
sastra di sekolah masih gagal menanamkan sikap apresiatif dan keaktifan membaca
siswa terhadap karya sastra. Dan yang paling dituding menjadi penyebab utama
kegagalan tersebut adalah masih menyatunya siswaan sastra dengan siswaan bahasa
Indonesia.
Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa,
tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Dan
hal ini tentu sulit dilakukan oleh guru sastra yang kurang memiliki keaktifan
serius dan talenta yang cukup terhadap sastra. Di samping itu, dalam sistem
pendidikan di Indonesia, target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan
standar penilaian ujian nasional. Tentu saja hal ini memicu pengingkaran tujuan
pendidikan yang sebenarnya, sehingga tidak urung ini memaksa guru sastra untuk menomorduakan
sastra.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran
sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai
sasaran sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang guru yang mengajarkan bahasa Indonesia harus bisa
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, dekat dengan dunia siswa sehingga pembelajaran
akan terlaksana dengan optimal.`
MEMBAWA KEMBALI SASTRA KE SEKOLAH
Kenapa
membawa sastra ke sekolah? Apakah sastra tidak hidup dan berkembang di sekolah?
Kenyataan memang begitu. Gairah bersastra belum berurat-berakar di sekolah.
Siswa baru sekadar mengenal ilmu sastra, tetapi belum sepenuhnya menekuni
sastra sebab masih direcoki oleh siswaan eksakta yang memang menjadi “anak
emas” di sekolah.
Maka,
program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan guru-guru untuk
mengikuti pelatihan sastra seperti yang dilakukan Majalah Sastra Horison
ataupun Rumah Puisi, sepatutnya ditiru oleh berbagai pihak yang peduli terhadap
pendidikan karakter anak bangsa. Pemerintah daerah hendaknya merangkul seniman
dan sastrawan di daerah masing-masing untuk masuk ke sekolah, melampaui batas
birokrasi, dengan tujuan memberi memotivasi kepada siswa dan guru untuk menulis
karya sastra. Bila tidak demikian, maka sastra akan menjadi “anak tiri”.
Dengan masuknya
para sastrawan ke sekolah, setidaknya siswa mengenal lebih dekat sosok
sastrawan dan karya sastra yang ditulisnya. Efek yang lebih utama, akan
membentuk karakter positif anak didik untuk mencintai memmembaca buku dan
menulis karangan yang akhir-akhir ini semakin berkurang.. Namun hal itu tidak
akan terjadi bilamana pemerintah daerah lewat dinas pendidikan dan sekolah
memerhatikan permasalahan ini secara serius.
Bila
dicermati, kemampuan siswa menulis karya sastra bukan kegiatan yang angin lalu
atau sekadar memenuhi tugas belajar di kelas. Kemampuan siswa menulis karya
sastra sama nilainya dengan kemampuan siswa di ajang Olimpiade Fisika. Bahkan
sejak beberapa tahun belakangan, cipta cerpen dan puisi telah dipertandingkan
dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Seleksi super ketat
dilakukan di tingkat kota, propinsi, hingga nasional. Artinya, menulis karya
sastra sama pentingnya dengan bidang-bidang lainnya di dunia pendidikan, bahkan
bisa lebih.
SASTRAWAN BERBICARA, SISWA BERTANYA (SBSB)
Berangkat dari permasalahan pembelajaran sastra, maka upaya
perbaikan nasib pembelajaran sastra setidaknya memerlukan beberapa
strategi. Salah satunya, sastrawan harus
mendekati massa pemmembacanya. Tujuannya yaitu untuk membuka diri agar proses
kreatif sastrawan dapat ditangkap oleh apresian sehingga diharapkan hal ini
nantinya akan bisa menjadi siswaan yang segar dan lebih menarik bagi siswa.
Oleh karena itu acara safari bertajuk “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” yang
sudah dilaksanakan di beberapa kota perlu diperluas medan garapannya. Ini merupakan
sebuah stimulasi bagus agar siswa lebih terdorong untuk mengapresiasi sastra secara
langsung yaitu Di antaranya dengan memmembaca karya-karya sastra, ataupun
dengan mencipta kembali karya sastra yan sudah ada, dan bukan dengan menghafal
sinopsis, sebagaimana realitas pada umumnya di lembaga pendidikan sekarang ini.
Banyak sekali
kendala yang dihadapi daerah berkaitan dengan apresiasi sastra. Mulai dari
persoalan sulitnya mendapatkan buku hingga mahalnya harga buku. Maka dengan
datangnya sastrawan ke daerah-daerah dapat pula memotivasi siswa, guru, dan
pemerintah daerah untuk meningkatkan pembelajaran sastra, terutama lewat
pengadaan buku-buku sastra.
Apakah Sastrawan Berbicara Siswa Bertanya itu? Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) adalah
sebuah acara apresiasi sastra yang menghadirkan sastrawan secara langsung di
hadapan para siswa dalam bentuk paparan proses kreatif, tanya jawab dan
penampilan karya sastra. Kegiatan ini diprakarsai oleh Penyair Taufik Ismail
dengan Majalah Horison. Dengan turunnya sastrawan untuk berbicara langsung
kepada siswa, diharapkan keaktifan membaca kalangan siswa, khususnya pada karya
satra dan seni, bisa semakin tinggi.
Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya ini
bisa menjadi wadah bagi siswa untuk mencerdaskan emosi dan melatih ekspresi
melalui dialog dengan sastrawan. Selain bermanfaat untuk siswa, kegiatan
tersebut juga dapat dimanfaatkan bagi guru untuk berdialog dengan sastrawan
guna memperdalam materi pengajaran di kelas.
DAMPAK SIGNIFIKAN SASTRAWAN BICARA SISWA
BERTANYA (SBSB) DALAM PENINGKATAN APRESIASI SASTRA SISWA
Karya-karya siswa yang dimuat di rubrik Kaki
Langit Majalah Horison yang diprakarsai oleh Sastrawan Taufiq Ismail merupakan
bukti banyaknya siswa yang kini mulai gemar dan mahir menulis karya sastra. Dalam
rubrik ini mereka dibebaskan untuk mengirimkan karya-karya baik puisi maupun
cerpen. Hampir semua penulis yang lahir berkat semangat Sastrawan Bicara Siswa
Bertanya (SBSB). Tulisan mereka rata-rata bagus dan unik.
Sebagai sebuah inovasi dalam pembelajaran
sastra, acara ini memiliki empat sasaran utama, yaitu: sebagai stimulasi
belajar sastra, bertambahnya pengetahuan dan keterampilan, serta sebagai
penguatan dalam pembentukan karakter. Sesuai dengan motonya “Berawal dari
Keriangan, Berakhir dengan Kearifan”.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB)
merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pembelajaran sastra yang bertujuan
untuk menumbuhkan keaktifan memmembaca dan menulis di kalangan siswa. Berbagai
teori pendidikan mengemukakan bahwa pengalaman konkret bagaimanapun jauh lebih
efektif dibandingkan pengalaman abstrak. Cara paling efektif untuk meningkatkan
keaktifan siswa terhadap musik adalah mendatangkan konser musik dan pemusiknya
ke tengah siswa. Demikian pula dengan pengajaran sastra, sosok-sosok yang
dibicarakan, sekaligus karya-karyanya yang dibahas secara abstrak di kelas
sudah waktunya dihadirkan ke hadapan siswa agar segala pembicaraan yang abstrak
mendapat pengayaan pengalaman konkret.
Melalui acara SBSB ini banyak hal (pengetahuan)
yang didapatkan oleh siswa. Dalam workshop tersebut, siswa diajak
berani untuk mengembangkan keaktifannya dan juga berani berkarya. Para
sastrawan membagi kelas dalam beberapa kelompok dan siswa diharuskan memilih
menjadi anggota kelompok yang dikeaktifaninya. Setelah itu, mereka diajak untuk
berkarya membuat puisi bertema aku ingin, berpantun, dan menulis cerpen dengan
tema-tema yang unik, seperti: Maling Jemuran.
Melalui kegiatan menulis cerpen dalam
waktu yang cukup singkat, para siswa diajak untuk mengembangkan imajinasi.
Sebelum menulis, para siswa mendengarkan pemmembacaan sebuah cerita. Setelah
itu, para siswa harus melanjutkan cerita tersebut secara tertulis sesuai dengan
tema-tema yang ditentukan. Selanjutnya, sastrawan mengajak siswa untuk mengolah
kata (diksi).
Tambahan pengetahuan lainnya adalah para siswa
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Sebagai acara penutup, pada sesi
terakhir, peserta menampilkan kebolehan mereka di hadapan para tamu dan
penonton.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB)
membuktikan bahwa sastra ternyata juga bisa memberikan hiburan yang luar biasa
menyenangkan seperti halnya konser musik band-band terkenal. Para sastrawan
juga mampu memadukan kreatifitas dengan kebutuhan hiburan sehingga karya sastra
bisa tampil sebagai sebuah karya seni yang patut mendapat apresiasi positif.
Inilah salah satu nilai penting yang dapat disiswai oleh siswa. Karya sastra
bukanlah sesuatu yang menakutkan ataupun membosankan. Tapi, karya sastra adalah
sebuah hasil kreatifitas tingkat tinggi yang sarat makna sekaligus juga
menghibur. Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) pada
akhirnya akan mampu mendekatkan para siswa pada berbagai macam karya sastra
sekaligus juga mampu mengapresiasinya dengan baik dan mendapatkan nilai-nilai
positif daripadanya. Inilah muara akhir dari belajar sastra.
Selain pengetahuan, melalui SBSB
ini siswa juga akan mendapatkan tambahan keterampilan, khususnya dalam menulis.
Mereka mendapatkan kunci bagaimana mengembangkan imajinasi, mengolah kata dan
menghasilkan karya. Modal utamanya, para siswa dirangsang untuk banyak-banyak
memmembaca. Inilah hal yang memiliki dampak positif untuk mengembangkan
kebiasaan memmembaca. Selama ini, para siswa di Indonesia masih (malas) memmembaca.
Kegiatan memmembaca baru sebatas paksaan belum menjadi sebuah budaya yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan acara ini,mudah-mudahan
suatu saat kelak, para siswa itu termotivasi dan merasa butuh untuk memmembaca
secara berkesinambungan. Bukankah memmembaca merupakan jendela dunia dan gudang
ilmu ?
Pembentukan karakter juga menjadi sasaran utama
dalam acara ini. Saat ini negara kita tercinta sedang menghadapi persoalan yang
cukup krusial. Melalui tayangan televisi dan media cetak, kita menyaksikan
diantarya pekelahian/ tawuran remaja, tontonan vulgar, dan konsumsi narkoba.
Jika kita amati dengan seksama, akan terlihat benang merah semua persoalan itu
yang bermuara pada terpinggirkannya pendidikan karakter bangsa. Salah satu
pendekatan yang dilakukan pada bidang olah rasa yaitu melalui pendidikan
sastra. Sebab di dalam pendidikan sastra terkandung nilai-nilai luhur bangsa,
nilai etika dan moral yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Oleh karena
itu, untuk memasyaatkan sastra, maka sastrawan pun perlu digandeng.
PENUTUP
Dengan adanya
inovasi seperti ini, siswa diharapkan lebih terdorong
untuk belajar sastra dengan maksimal dan
menyenangkan. Disamping itu, Guru Sastra Indonesia hendaknya juga harus mampu
menyajikan siswaan itu dengan berbagai macam metode yang menarik dan membuat
siswa senang belajar Bahasa Indonesia. Dengan demikian, siswaan Bahasa
Indonesia bukan lagi hanya sekedar beban dalam proses kelulusan, tapi siswaan
Bahasa Indonesia juga memiliki manfaat dalam kehidupan siswa nantinya. Di
antaranya dalam pembentukan karakter siswa, yang mana siswa adalah calon
generasi penerus bangsa. Sehingga diharapkan bangsa ini nantinya akan lebih
baik moralnya, juga masa depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tomoredjo, Mampuono Rasyidin, Penguasaan
ICT: Bekal Guru Profesional Menghadapi Era Global , (online)
tersedia pada http://www.jatengklubguru.com.
Undang-Undang no 14 Tahun 2005. tentang Guru dan Dosen
sebagai Tenaga Profesi.
Uno,
Hamzah B. 2009. Profesi Kependidikan:
Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 2007. Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra:
disampaikan pada Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI
FPBS UPI Bandung, 10 April 20007. Pernah dipublikasikan di Koran Republika, 29
April 2007.