TRADISI RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL
DI DIENG
DI DIENG
(SEBUAH KAJIAN BUDAYA DI KABUPATEN BANJARNEGARA-WONOSOBO)
Oleh: Endah Dwi Anggraeni
Mahasiswi Universitas Negeri Semarang
Pendahuluan
Masyarakat Jawa sebagai salah satu golongan
etnis di Indonesia tampak mempunyai sikap hidup yang berbeda dengan golongan
etnis lainnya. Asal- usul orang jawa, tradisi orang jawa merupakan salah satu
landasan sikap hidup orang jawa. Untuk mengungkap sikap orang Jawa diperlukan
pengetahuan asal- usul dan kehidupannya menurut adat serta tradisinya.
Kabupaten
Wonosobo termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonosobo merupakan daerah
pegunungan dengan ketinggian 270-2.250 meter di atas permukaan laut. Sebagai
ibu kota Kabupaten,Wonosobo mempunyai ketinggian 772 meter di atas permukaan
laut. Daerah Wonosobo dikelilingi oleh gunung Sindoro, pegunungan Dieng, dan
gunung Perahu.
Di
daerah Wonosobo terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah Ruwatan
Cukur Rambut Gimbal di Dieng. Ritual ini bertujuan untuk mengembalikan rambut gimbal
kepada yang Maha Kuasa, dan agar pemilik rambut gimbal yang menitipkan pada
anak tersebut rela rambutnya dicukur serta di kembalikan kepada Sang Khalik.
Selain itu si anak yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan
kesehatan. Diharapkan dengan penyusunan makalah ini, para pembaca dapat
mengetahui lebih dalam tentang tradisi ruwatan rambut gimbal ini.
Dieng, Gunung Tempat
Bersemayamnya Dewa-Dewi
Dieng berasal dari dua kata yaitu “ di “ (
bahasa Sunda Kuno ) yang berarti tempat atau gunung, dan “ hyang “ ( bahasa
Sunda Kuno ) yang berarti dewa. Dengan demikian, Dieng berarti daerah tempat
para Dewa. Dieng adalah dataran tinggi yang masih wilayah kabupaten Wonosobo
dan sebagian Kabupaten Banjarnegara. Letaknya disebelah barat Gunung Sindoro
dan Gunung Sumbing. Dieng memiliki berbagai macam pesona wisata, seperti
kawah, telaga, dan candi. Serta mempunyai kesenian daerah seperti angklung,
kuda kepang dan lain-lain. Makana khas yang berasal dari Dieng yang susah
ditemukan di daerah lain adalah jamur Dieng, dan manisan Carica. Hal yang
menarik dari Dieng selain pesona wisata, kesenian dan makanan khasnya yaitu sebagian
masyarakatnya yang berambut gimbal.
Sejarah Rambut
Gimbal; Titisan Leluhur Dieng
Konon kabarnya,
Anak Gimbal Dieng adalah titisan dari Kyai Kolodete. Kyai Kolodete dianggap
sebagai luluhur pendiri Dieng. Leluhur ini bukan sesosok gaib, melainkan
sesosok manusia yang pertama kali membuka tanah Dieng. Ia hidup pada masa
kejayaan Mataram. Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal.
Syahdan, Kyai
Kolodete dikenal sebagai seorang pemimpin, seorang penasihat dan seorang yang
sangat berpengaruh dalam masyarakat di daerah Kawedanan Kertek dan sekitarnya.
Jabatan formalnya adalah sebagai kebayan desa Tegalsari, Kertek, Wonosobo.
Kyai Kolodete
berkeinginan bisa memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan
masyarakatnya. Maka, agar keinginannya lebih bisa direalisasikan, beliau
bermaksud menjadi Lurah. Maksud ini mendapat dukungan kuat dari masyarakatnya.
Masyarakat sudah menganggap bahwa dari sifatnya dan sikapnya, Kyai Kolidete
dipandang telah memenuhi syarat sebagai Lurah.
Pada suatu
hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai sebagai Lurah.
Permohonan ini diajukan ke pemerintah pusat, yaitu Mataram. Namun, tanpa
diketahui alasannya, permintaan itu ditolak. Ditolaknya permintaan itu
membuat hati masyarakat menjadi kecewa.
Demikian juga
dengan Kyai Kolodete. Beliau merasa malu terhadap rakyatnya. Sebagai
pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau ingin
mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya:
“Mung semene
wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng“(Hanya sampai
sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng).
Dalam setiap
doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita-citanya dahulu, yaitu
membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat bisa terkabul. Meski ia jauh
menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai
Kolodete kepada masyarakatnya berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti
itu ialah supaya anak cucunya nanti di kemudian hari akan berambut gimbal
seperti halnya rambut Kyai Kolodete. Dan, permohonan itu benar-benar dikabulkan
sang Khaliq.
Sampai sekarang
di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gimbal.
Oleh masyarakat, anak berambut gimbal ini disebut Anak Gimbal dan dianggap
titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Namun, cerita itu bukan versi
satu-satunya tentang Kyai Kolodete dan Anak Gimbalnya.
Ada versi
cerita lain tentang Kyai Kolodete dan rambut gimbal yang berkaitan dengan mitos
Nyi Roro Kidul, penguasa Ratu Selatan Jawa. Cerita ini disadur dari penuturan
Mbah Naryono, pemangku adat Dieng Kulon, Kec. Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Syahdan, datangnya
rambut gimbal sebenarnya berasal dari Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul menitipkan
rambut gimbal kepada Tumenggung Kolodete. Tumenggung Kolodete adalah seorang
panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan
Dieng.
Singkatnya,
keturunan gaib dari Tumenggung Kolodete akan mempunyai rambut gimbal. Keturunan
gaib ini adalah anak bajang titipan Nyi Roro Kidul. Suatu saat rambut gimbal
anak bajang akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. Pengembalian rambut
gimbal dilakukan melalui ruwatan dimana rambut gimbal yang diruwat dilarung ke
saluran air yang mengalir ke Laut Selatan Jawa.
Satu lagi versi
cerita tentang Kyai Kolodete. Kali ini saya peroleh berhubungan dengan sejarah
Wonosobo. Konon ceritanya bahwa Kyai Kolodete merupakan satu dari tiga tokoh
yang mendirikan Kota Wonosobo, yakni bersama dengan Kyai Walik dan Kyai Karim.
Kyai Walik
merancang tata kota Wonosobo. Kyai Karim menjadi peletak dasar-dasar
pemerintahan di Wonosobo.Dan, Kyai Kolodete pergi ke Wonosobo bagian utara di
kawasan Dieng membuat perkampungan. Ketiga tokoh itu menjalin kerjasama yang erat,
saling mendukung dan melengkapi demi memajukan perkampungan Wonosobo.
Kyai Kolodete
bersama keluarga dan pengikutnya membabat alas Dieng yang masih perawan.
Tujuannya adalah untuk dijadikan perkampungan penduduk, lahan pertanian, dan
ladang sebagai sumber penghidupan. Kyai Kolodete kemudian diyakini menjadi
‘merkayangan’ atau penguasa Dieng.
Kyai Kolodete
ini memiliki rambut gimbal semenjak kecil. Menurut mitosnya, lantaran rambut
gimbalnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai Kolodete berpesan agar anak
cucunya membantu dalam menghadapi gangguan rambut itu. Maka, diwariskanlah
rambut gimbalnya pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng hingga sampai sekarang.
Ada benang
merah yang bisa menghubungkan versi-versi cerita leluhur Dieng dan muasal
Rambut Gimbal. Semua sama-sama membicarakan Kyai Kolodete. Semua sepakat bahwa
Kyai Kolodete adalah leluhur Dieng yang ‘menitiskan’ rambut Gimbal kepada
bocah-bocah Dieng.
Munculnya Rambut Gimbal
Seorang anak berambut gimbal mula-mula mengidap
penyakit panas, kemudian rambutnya tumbuh tidak selayaknya, dirambutnya
tumbuh gimbal. Hal lain yang menyebabkan seseorang berambut gimbal
adalah kurangnya perawatan terhadap si anak. Kebanyakan anak yang berambut gimbal
adalah berasal dari keluarga petani, dimana kesehariannya orang tua mereka
bekerja di ladang. Sehingga orang tua mereka kurang memperhatikan kebersihan
anaknya, khususnya kebersihan rambut.
Jadi latar belakang tumbuhnya rambut
gimbal pada anak rambut gimbal di dataran tinggi Dieng disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, genetis (keturunan). Faktor keturunan dipercaya dapat
menyebabkan seorang anak berambut gimbal. Jika ditelusuri,seorang ibu atau ”si
mbok”, mbah, buyut dari anak yang berambut gimbal ternyata dulunya juga
berambut gimbal. Kedua, masyarakat dataran tinggi Dieng memiliki keyakinan
bahwa anak rambut gimbal merupakan takdir Yang Maha Kuasa. Ketiga, faktor
kesehatan (demam tinggi, kurangnya menjaga kebersihan badan dan pola asuh orang
tua) dipengaruhi oleh keadaan geografis dataran tinggi dieng yang bersuhu
dingin sekitar 15 C°. menyebabkan seorang anak berambut gimbal. Dinginnya
suhu udara menyebabkan seorang anak malas untuk mandi dan mencuci rambutnya,
sehingga rambutnya kotor dan menjadi gimbal.
Rambut Gimbal
Dilihat dari Segi Kesehatan
Jika dilihat dari segi kesehatan, seorang anak
yang berambut gimbal itu dikarenakan kurangnya kesadaran akan kebersihan
pada tubuh mereka sendiri. Sehingga menimbulkan berbagai penyakit misalnya
rambut menjadi gatal, dan menjadi menggumpal (gimbal), selain itu si anak juga
merasakan demam tinggi yang membuat kepala akan terasa panas.
Menurut ahli kesehatan, anak yang memiliki
rambut gimbal tidak banyak mempengaruhi kesehatan, tetapi jika hal itu
dibiasakan maka masyarakat akan terbiasa dengan pola hidup yang tidak sehat.
Dan akan menimbulkan penyakit lainnya misalnya gatal-gatal pada tubuh yang
membuat infeksi atau penyakit kulit lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
rambut gimbal tidak berbahaya bagi tubuh manusia. Hanya saja akan terlihat
kurang rapi dan membuat orang akan risih melihatnya, namun jika pola hidup
masyarakat masih seperti itu, hal ini dapat menimbulkan penyakit yang lain yang
tentunya akan membahayakan manusia sendiri. Maka yang perlu kita ubah adalah
pola kebiasaan masyarakat didataran tinggi dieng agar mereka merubah pola hidup
menjadi lebih bersih.
Kapan Rambut Gimbal Boleh Dipotong?
Tidak ada patokan yang pasti pada anak umur
berapa rambut gimbal akan dipotong (disebut potong gombak), akan tetapi hal
tersebut akan dilakukan pada saat anak telah cukup umur (lebih kurang dari 7 –
10 tahun) dan orang tuanya telah sanggup memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.
Potong gimbal dilakukan setelah anak
memintanya untuk dipotong. Pada umumnya disertai dengan permintaan si anak yang
harus dituruti, seperti minta dibelikan kambing, sapi, uang, mainan anak-anak,
atau benda-benda lain. Tidak ada pola tentang permintaan anak gimbal ini, bisa
mulai dari permintaan yang sederhana sampai dengan yang tidak mungkin dituruti
oleh orangtuanya. Bahkan menurut pak Agus, pernah ada anak imbal yang minta
kepala ayahnya. Sehingga permintaan ini tidak dapat dituruti, dan rambut anak itu
pun tidak dipotong hingga dewasa bahkan meninggal dunia.
Setelah permintaan dipenuhi, syaratnya
berikutnya harus diadakan ruwatan. Sesaji-sesaji yang disediakan pada acara
ruwatan ini merupakan lambang permohonan petunjuk dan keselamatan bagi
perjalanan hidup si anak. Ada beberapa sesaji yang biasa digunakan, seperti (1)
Ambeng bodro, berupa nasi yang dikelilingi lauk pauk tempe, tahu dan telur,
(2) Ambeng bobrok, berupa ketan yang diberi gula merah, jenang merah putih serta jajan pasar, dan (3) Sesaji lain yang diperlukan antara lain : kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir serta cermin, dan lain-lain.
(2) Ambeng bobrok, berupa ketan yang diberi gula merah, jenang merah putih serta jajan pasar, dan (3) Sesaji lain yang diperlukan antara lain : kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir serta cermin, dan lain-lain.
Nilai sesaji ini sangat bergantung pada
kemampuan masyarakat yang menyelenggarakan, sehingga hal ini akan dilaksanakan
bila orang tua sudah siap. Bahkan bila mempunyai kemampuan lebih sering
diselenggarakan dengan pergelaran wayang kulit.
Karakteristik
Anak Berambut Gimbal
Anak-anak berambut gimbal
terbilang langka dan jarang kita jumpai seantero wilayah nusantara ini.
Sebagian besar dapat kita temukan di wilayah Kabupaten Wonosobo dan sebagian di
Kabupaten Banjarnegara serta di lereng Merbabu. Ruwatan Cukur Rambut Gimbal
secara tradisional hingga kini masih berjalan turun temurun, terutama di Dataran
Tinggi Dieng dan Lereng Sindoro Sumbing. Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo
meramu kegiatan tradisi ini menjadi asset budaya daerah melalui kegiatan
tahunan Subdin Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo.
Dari wujudnya,
antara helaian-helaian rambut gimbal saling merekat dan mengikat. Sampai-sampai
tidak bisa disisir. Rambut gimbal bisa tumbuh hanya satu ikat. Atau bisa tumbuh
paling sempurna, yakni banyak ikat yang disebut rambut gimbal jenis “pari” atau
padi.
Dalam
kesehariannya, anak-anak gimbal tidak berbeda dibandingkan teman-temannya.
Perlakuan orang-orang kepadanya juga biasa saja, tidak spesial. Hanya saja
mereka cenderung lebih aktif, kuat, suka rewel dan agak nakal. Menariknya,
apabila bermain dengan sesama anak gimbal, pertengkaran cenderung sering
terjadi antara mereka.
Anehnya lagi,
si anak gimbal ketika diruwat tak cukup minta dicukur saja. Ia akan
menyertainya dengan suatu permintaan. Ia memiliki keinginan yang harus dipenuhi
orang tuanya sebelum dilaksanakan Ruwatan. Apapun itu keinginannya harus
dituruti. Kalau pencukuran dipaksa tidak disertai pemenuhan keinginan terlebih
dulu, anak gimbal itu bisa jadi linglung bahkan gila.
Kondisi anak yang begitu
selanjutnya disebut anak “sukerta” yaitu anak yang dicadangkan menjadi mangsa Batharakala
(pengaruh budaya wayang). Untuk melepaskan dan mengangkat kembali anak dari
kondisi sialnya itu atau membersihkan sesukernya (gimbalnya) harus dilakukan
upacara ruwatan.
Tipe rambut gimbal dapat
dibedakan dari dua golongan besar yaitu menurut jenis rambut dan letak
tumbuhnya.
Menurut jenis rambutnya
ada tiga model:
1.
Gimbal Pari yaitu model gimbal yang tumbuh memanjang membentuk ikatan
rambut kecil-kecil menyerupai bentuk padi. Tipe ini berasal dari jenis rambut lurus dan
tipis.
2.
Gimbal Jatha yaitu corak gimbal yang merupakan
kumpulan rambut gimbal yang besar-besar tetapi tidak lekat menjadi satu. Jenis
ini berasal dari rambut lurus dan tebal.
3.
Gimbal Wedhus/Gimbal Debleng yaitu model gimbal
yang merupakan kumpulan rambut besar-besar menjadi satu menyerupai bulu domba.
Tipe ini berasal dari rambut berombak/kriting.
Sedangkan menurut letak tumbuhnya:
1.
Gimbal Gombak yaitu tipe gimbal yang letak
tumbuhnya di bagian belakang kepala.
2.
Gimbal Pethek yaitu tipe gimbal yang tumbuhnya
di bagian samping kepala di atas telinga.
3.
Gimbal Kuncung yaitu tipe gimbal yang letak
tumbuhnya di daerah ubun-ubun bagian tengah agak kedepan bagian kepala.
Makna Ruwatan
Ruwatan berasal dari kata ruwat yang
artinya melepaskan yaitu melepaskan dari nasib sialnya, dari kondisi
terbelenggu adaptasi, melepaskan dari karakteristik anak yang cenderung aneh
agar kembali tumbuh normal sebagaimana anak yang lain. Acara Ruwatan tidak
dapat dipaksakan oleh orang tuanya tetapi setelah anak mengajukan permintaan
sebagai persyaratan khusus yang disebut “bebana” atau permintaan. Dari
pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan Dinas Pariwisata sangatlah beragam
bebana yang dimintanya, dan kitapun sebagai pelayan hanya mengiyakan dan
berusaha memenuhinya. Sebab kalau tidak dipenuhi rambut gimbal yang telah
dicukurnya akan tumbuh kembali dan kondisi kesehatan akan terganggu, badan akan
terasa panas dingin bahkan sampai ada yang mengigau dan kejang-kejang.
Beberapa perlengkapan ruwatan:
1.
Tumpeng Robyong
Tumpeng Robyong
adalah tumpeng putih di atasnya ditancapkan berbagai jajan pasar sebuah
penggambaran Rambut Gimbal yang dipersembahkan untuk Kyai Kolodete.
Makna: Bahwa
hidup ini senantiasa dikelilingi berbagai sifat-sifat kehidupan siluman, agar
lepas dari gangguan itu harus dibuat sesaji tumpeng robyong untuk meruwat si
anak gimbal dari cengkeraman siluman agar kembali berkembang secara wajar.
2.
Tumpeng Kalung
Tumpeng Putih dihiasi kalung kelapa muda.
Makna: Dibuatnya tumpeng kalung adalah sebuah ciri dimana
anak gimbal sesudah diruwat akan dapat meneruskan perjuangan hidup dan
senantiasa berbakti kepada orang tua, guru, dan pemerintah serta kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Versi Lain
Dalam pembuatan
tumpeng atau bucu pada dasarnya ada 3 macam yaitu: bucu putih, bucu kuning, dan
bucu robyong.
1.
Bucu Putih melambangkan keselamatan bagi si anak.
2.
Bucu Kuning melambangkan korban persembahan kepada Nabi Muhammad SAW.
3.
Bucu Robyong sebagai persembahan kepada Kyai Kolodete yang diyakini
menitipkan gimbal kepada anaknya.
3.
Ingkung Ayam
Ingkung Ayam
harus jantan dimasak utuh setelah dibersihkan luar dan dalamnya.
Makna: Orang
itu harus bersih luar dan dalamnya agar sepanjang perjalanan hidupnya menemui
kebahagiaan yang sejati.
4.
Jajan Pasar
Jajan pasar
adalah berbagai jenis makanan kecil yang biasa dijual di pasar-pasar.
Makna: Jajan
pasar adalah jajan yang lazim diminta anak-anak kecil. Artinya diharapkan
setelah dewasa tidak lagi seperti anak kecil, tetapi dapat hidup mandiri dapat
menjadi panutan atau menjadi teladan.
5.
Minuman Lengkap
Minuman lengkap
yang dimaksudkan adalah teh, kopi, air putih, dll, atau menurut versi
kedaerahan.
Makna: Sesaji
ini melambangkan baktinya anak cucu kepada Pundensari yang menjadi utusan Tuhan
dalam menguasai jagad raya dan senantiasa siap sedia menciptakan kesejahteraan
bersama (mamayu hayuning bawana).
6.
Sesaji Larungan
Untuk melarung Rambut Gimbal yang telah
dipotong dilengkapi sesaji sebagai berikut:
1)
Mawar merah : Lambang keberanian
2)
Mawar
putih : Lambang kesucian
3)
Kanthil : Selalu dikenang (kumanthil)
4)
Kenanga : Menjadi kenangan seumur hidupnya
5)
Cempaka : Lambang kebahagiaan
6)
Kacapiring : Orang harus mampu mengintrospeksi
diri (mawas diri)
7)
Melati : Berharap dapat mencapai keharuman
nama
8)
Sawur
a.
Beras kuning (lambang pengorbanan)
b.
Kembang setaman (lambang keindahan, kebahagiaan)
c.
Kembang telon (terdiri dari tiga macam kembang), yang bermakna bahwa
kebutuhan pokok orang hidup ada tiga macam yaitu sandang, pangan, dan papan.
Prosesi Ruwatan
Anak Gimbal
Bagaimana
melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa
memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan
keluarga yang meruwat anak gimbalnya.
Jika
keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya
menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan
secara mandiri membutuhkan biaya besar. Harus menanggung segala biaya seremoni
ruwatan. Saya bisa bayangkan pasti hanya keluarga ‘borjuis’ Dieng yang bisa
melakukan ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.
Maka,
masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara massal.
Masyarakat ‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan
ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah.
Ribuan masyarakat Dieng berbondong-bondong datang memenuhi lokasi. Bisa
dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng.
Lazimnya,
setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat
pelaksanaan Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu
lazimnya. Tak jadi masalah kapanpun ruwatan dilakukan.
Dalam
pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah Pemuka
Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan Anak
Gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna. Halaman rumah Pemuka Adat
menjadi tempat pemberangkatan Kirab. Kirab ini menyertakan barang-barang
permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji berupa nasi tumpeng, ayam
panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni
dari penduduk sekitar.
Kirab berjalan
dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas. Napak tilas ini
menuju beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek candi Arjuna, candi
Gatotkaca, candi Bima, sendang Maerokotjo, telaga Balekambang, kawah Sikidang,
komplek pertapaan Mandalasari, kali Kepek dan komplek pemakaman Dieng. Pada
saat kirab berjalan, para anak gimbal akan dilempari beras kuning dan uang
koin.
Kirab lalu
singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu.
Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal berjalan dinaungi oleh Payung
Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik
Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna)
dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa
Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu).
Setelah
penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat pencukuran,
yakni di kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut gimbal merupakan
puncak prosesi Ruwatan Anak Gimbal.
Prosesi Ruwatan
pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu,
orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk
adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak
Gimbal. Pencukuran dilakukan di halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna.
Setelah rambut gimbal selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada
cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman.
Setelah
pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua ‘uborampe’
prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa
berkah pada yang membawanya.
Ritual terakhir dalam ruwatan anak gimbal
adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di tempat yang terdapat air
yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini dilakukan
di Sendang Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna.
Tempat-tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.
Penutup
Dieng adalah
nirwana dunia di Tanah Jawa. Bumi vulkaniknya terukir beraneka ragam keindahan,
kesuburan dan kekayaan alam yang luar biasa. Pesona budayanya terhampar
berserakan mewarnai setiap sudut ruangnya. Namun itu tak cukup. Teristimewa ada
manusia indigenous yang unik sarat nuansa mistik, Anak Gimbal Dieng.
Kehadirannya menjadi perhiasan yang mengagungkan Dieng, Negeri Para Dewa.
Demikian
“titisan” Kyai Kolodete yang legendaris mampu menembus dimensi waktu. Jikalau
dulu Kyai Kolodete telah memberikan manfaat untuk masyarakat Dieng, semoga para
anak gimbal juga bermanfaat bagi
kesejahteraan Dieng suatu saat nanti. Tak sekadar dititiskan gimbalnya, tetapi
dititiskan pula kontribusinya untuk Dieng. Anak Gimbal menjadi harapan
penggerak Dieng. Menjadi lokomotif kemajuan.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.1990.Pengantar Ilmu
Antropologi.Rineka Cipta:Jakarta
Poloma, M. Margaret.2000.Sosiologi
Kotemporer.Rajawali Pers:Jakarta
Soekanto, Soerjono.2006.Sosiologi Suatu
Pengantar.Rajawali Pers:Jakarta
Sutrisno, Mudji dan Hendar
Putranto.2005.Kanisius:Jakarta
Sztompka, Piotr.2004.Sosiologi Perubahan
Sosial. Predana:Jakarta
(Online), http://arsyadfardani.blogspot.com/2011/04/tradisi-cukur-gimbal diakses
pada tanggal 23 November 2013 pukul 11:44 WIB
http://kajianbudayaokal.blogspot.com/2011/wonosobo//gimbal diakses
pada tanggal 23 November 20123pukul 11:46 WIB
makasih mbaaaa...
BalasHapusTerimakasih atas infonya ya kak...
BalasHapus