Senin, 14 April 2014

SOLUSI PROBLEMATIK SASTRA

SASTRAWAN BERBICARA SISWA BERTANYA:
SEBUAH INOVASI UNTUK MENSTIMULASI KEAKTIFAN SISWA
DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA

Endah Dwi Anggraeni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang

PENDAHULUAN
Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat keaktifan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.
Ketidaktercapaian pengajaran sastra di sekolah tentunya disebabkan karena berbagai hal. Di antara kendala yang seringkali saya temukan dalam pembelajaran sastra Indonesia yaitu bahwa pembelajaran Sastra Indonesia sangat membosankan. Hal ini dikarenakan siswa sudah merasa bisa, serta bentuk penyampaian materi yang kurang menarik sehingga secara tidak langsung siswa menjadi tidak tertarik dan lemah dalam menangkap materi tersebut.
 Selain itu, sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekadar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi keaktifan dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
Problematik pengajaran sastra di sekolah dikaitkan pada sebagian besar Guru Sastra di sekolah yang kurang maksimal dalam menstimulasi keaktifan dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Para siswa tidak diajarkan untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spritual siswa.
Meminjam istilah Taufiq Ismail, pengajaran sastra di sekolah masih gagal menanamkan sikap apresiatif dan keaktifan membaca siswa terhadap karya sastra. Dan yang paling dituding menjadi penyebab utama kegagalan tersebut adalah masih menyatunya siswaan sastra dengan siswaan bahasa Indonesia.
Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Dan hal ini tentu sulit dilakukan oleh guru sastra yang kurang memiliki keaktifan serius dan talenta yang cukup terhadap sastra. Di samping itu, dalam sistem pendidikan di Indonesia, target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional. Tentu saja hal ini memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya, sehingga tidak urung ini memaksa guru sastra untuk menomorduakan sastra.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang guru yang mengajarkan bahasa Indonesia harus bisa menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, dekat dengan dunia siswa sehingga pembelajaran akan terlaksana dengan optimal.`

MEMBAWA KEMBALI SASTRA KE SEKOLAH
Kenapa membawa sastra ke sekolah? Apakah sastra tidak hidup dan berkembang di sekolah? Kenyataan memang begitu. Gairah bersastra belum berurat-berakar di sekolah. Siswa baru sekadar mengenal ilmu sastra, tetapi belum sepenuhnya menekuni sastra sebab masih direcoki oleh siswaan eksakta yang memang menjadi “anak emas” di sekolah.
Maka, program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan guru-guru untuk mengikuti pelatihan sastra seperti yang dilakukan Majalah Sastra Horison ataupun Rumah Puisi, sepatutnya ditiru oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan karakter anak bangsa. Pemerintah daerah hendaknya merangkul seniman dan sastrawan di daerah masing-masing untuk masuk ke sekolah, melampaui batas birokrasi, dengan tujuan memberi memotivasi kepada siswa dan guru untuk menulis karya sastra. Bila tidak demikian, maka sastra akan menjadi “anak tiri”.
Dengan masuknya para sastrawan ke sekolah, setidaknya siswa mengenal lebih dekat sosok sastrawan dan karya sastra yang ditulisnya. Efek yang lebih utama, akan membentuk karakter positif anak didik untuk mencintai memmembaca buku dan menulis karangan yang akhir-akhir ini semakin berkurang.. Namun hal itu tidak akan terjadi bilamana pemerintah daerah lewat dinas pendidikan dan sekolah memerhatikan permasalahan ini secara serius.
Bila dicermati, kemampuan siswa menulis karya sastra bukan kegiatan yang angin lalu atau sekadar memenuhi tugas belajar di kelas. Kemampuan siswa menulis karya sastra sama nilainya dengan kemampuan siswa di ajang Olimpiade Fisika. Bahkan sejak beberapa tahun belakangan, cipta cerpen dan puisi telah dipertandingkan dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Seleksi super ketat dilakukan di tingkat kota, propinsi, hingga nasional. Artinya, menulis karya sastra sama pentingnya dengan bidang-bidang lainnya di dunia pendidikan, bahkan bisa lebih.
SASTRAWAN BERBICARA, SISWA BERTANYA (SBSB)
Berangkat dari permasalahan pembelajaran sastra, maka upaya perbaikan nasib pembelajaran sastra setidaknya memerlukan beberapa strategi.  Salah satunya, sastrawan harus mendekati massa pemmembacanya. Tujuannya yaitu untuk membuka diri agar proses kreatif sastrawan dapat ditangkap oleh apresian sehingga diharapkan hal ini nantinya akan bisa menjadi siswaan yang segar dan lebih menarik bagi siswa. Oleh karena itu acara safari bertajuk “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” yang sudah dilaksanakan di beberapa kota perlu diperluas medan garapannya. Ini merupakan sebuah stimulasi bagus agar siswa lebih terdorong untuk mengapresiasi sastra secara langsung yaitu Di antaranya dengan memmembaca karya-karya sastra, ataupun dengan mencipta kembali karya sastra yan sudah ada, dan bukan dengan menghafal sinopsis, sebagaimana realitas pada umumnya di lembaga pendidikan sekarang ini.
Banyak sekali kendala yang dihadapi daerah berkaitan dengan apresiasi sastra. Mulai dari persoalan sulitnya mendapatkan buku hingga mahalnya harga buku. Maka dengan datangnya sastrawan ke daerah-daerah dapat pula memotivasi siswa, guru, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan pembelajaran sastra, terutama lewat pengadaan buku-buku sastra.   
Apakah Sastrawan Berbicara Siswa Bertanya itu? Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) adalah sebuah acara apresiasi sastra yang menghadirkan sastrawan secara langsung di hadapan para siswa dalam bentuk paparan proses kreatif, tanya jawab dan penampilan karya sastra. Kegiatan ini diprakarsai oleh Penyair Taufik Ismail dengan Majalah Horison. Dengan turunnya sastrawan untuk berbicara langsung kepada siswa, diharapkan keaktifan membaca kalangan siswa, khususnya pada karya satra dan seni, bisa semakin tinggi. 
Kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya ini bisa menjadi wadah bagi siswa untuk mencerdaskan emosi dan melatih ekspresi melalui dialog dengan sastrawan. Selain bermanfaat untuk siswa, kegiatan tersebut juga dapat dimanfaatkan bagi guru untuk berdialog dengan sastrawan guna memperdalam materi pengajaran di kelas.

DAMPAK SIGNIFIKAN SASTRAWAN BICARA SISWA BERTANYA (SBSB) DALAM PENINGKATAN APRESIASI SASTRA SISWA
Karya-karya siswa yang dimuat di rubrik Kaki Langit Majalah Horison yang diprakarsai oleh Sastrawan Taufiq Ismail merupakan bukti banyaknya siswa yang kini mulai gemar dan mahir menulis karya sastra. Dalam rubrik ini mereka dibebaskan untuk mengirimkan karya-karya baik puisi maupun cerpen. Hampir semua penulis yang lahir berkat semangat Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Tulisan mereka rata-rata bagus dan unik.
Sebagai sebuah inovasi dalam pembelajaran sastra, acara ini memiliki empat sasaran utama, yaitu: sebagai stimulasi belajar sastra, bertambahnya pengetahuan dan keterampilan, serta sebagai penguatan dalam pembentukan karakter. Sesuai dengan motonya “Berawal dari Keriangan, Berakhir dengan Kearifan”.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pembelajaran sastra yang bertujuan untuk menumbuhkan keaktifan memmembaca dan menulis di kalangan siswa. Berbagai teori pendidikan mengemukakan bahwa pengalaman konkret bagaimanapun jauh lebih efektif dibandingkan pengalaman abstrak. Cara paling efektif untuk meningkatkan keaktifan siswa terhadap musik adalah mendatangkan konser musik dan pemusiknya ke tengah siswa. Demikian pula dengan pengajaran sastra, sosok-sosok yang dibicarakan, sekaligus karya-karyanya yang dibahas secara abstrak di kelas sudah waktunya dihadirkan ke hadapan siswa agar segala pembicaraan yang abstrak mendapat pengayaan pengalaman konkret.
Melalui acara SBSB ini banyak hal (pengetahuan) yang didapatkan oleh siswa.  Dalam workshop tersebut, siswa diajak berani untuk mengembangkan keaktifannya dan juga berani berkarya. Para sastrawan membagi kelas dalam beberapa kelompok dan siswa diharuskan memilih menjadi anggota kelompok yang dikeaktifaninya. Setelah itu, mereka diajak untuk berkarya membuat puisi bertema aku ingin, berpantun, dan menulis cerpen dengan tema-tema yang unik, seperti: Maling Jemuran.
 Melalui kegiatan menulis cerpen dalam waktu yang cukup singkat, para siswa diajak untuk mengembangkan imajinasi. Sebelum menulis, para siswa mendengarkan pemmembacaan sebuah cerita. Setelah itu, para siswa harus melanjutkan cerita tersebut secara tertulis sesuai dengan tema-tema yang ditentukan. Selanjutnya, sastrawan mengajak siswa untuk mengolah kata (diksi).
Tambahan pengetahuan lainnya adalah para siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Sebagai acara penutup, pada sesi terakhir, peserta menampilkan kebolehan mereka di hadapan para tamu dan penonton.
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) membuktikan bahwa sastra ternyata juga bisa memberikan hiburan yang luar biasa menyenangkan seperti halnya konser musik band-band terkenal. Para sastrawan juga mampu memadukan kreatifitas dengan kebutuhan hiburan sehingga karya sastra bisa tampil sebagai sebuah karya seni yang patut mendapat apresiasi positif. Inilah salah satu nilai penting yang dapat disiswai oleh siswa. Karya sastra bukanlah sesuatu yang menakutkan ataupun membosankan. Tapi, karya sastra adalah sebuah hasil kreatifitas tingkat tinggi yang sarat makna sekaligus juga menghibur.  Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) pada akhirnya akan mampu mendekatkan para siswa pada berbagai macam karya sastra sekaligus juga mampu mengapresiasinya dengan baik dan mendapatkan nilai-nilai positif daripadanya. Inilah muara akhir dari belajar sastra.
  Selain pengetahuan, melalui SBSB ini siswa juga akan mendapatkan tambahan keterampilan, khususnya dalam menulis. Mereka mendapatkan kunci bagaimana mengembangkan imajinasi, mengolah kata dan menghasilkan karya. Modal utamanya, para siswa dirangsang untuk banyak-banyak memmembaca. Inilah hal yang memiliki dampak positif untuk mengembangkan kebiasaan memmembaca. Selama ini, para siswa di Indonesia masih (malas) memmembaca. Kegiatan memmembaca baru sebatas paksaan belum menjadi sebuah budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan acara ini,mudah-mudahan suatu saat kelak, para siswa itu termotivasi dan merasa butuh untuk memmembaca secara berkesinambungan. Bukankah memmembaca merupakan jendela dunia dan gudang ilmu ?
Pembentukan karakter juga menjadi sasaran utama dalam acara ini. Saat ini negara kita tercinta sedang menghadapi persoalan yang cukup krusial. Melalui tayangan televisi dan media cetak, kita menyaksikan diantarya pekelahian/ tawuran remaja, tontonan vulgar, dan konsumsi narkoba. Jika kita amati dengan seksama, akan terlihat benang merah semua persoalan itu yang bermuara pada terpinggirkannya pendidikan karakter bangsa. Salah satu pendekatan yang dilakukan pada bidang olah rasa yaitu melalui pendidikan sastra. Sebab di dalam pendidikan sastra terkandung nilai-nilai luhur bangsa, nilai etika dan moral yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk memasyaatkan sastra, maka sastrawan pun perlu digandeng.

PENUTUP
Dengan adanya inovasi seperti ini,    siswa diharapkan lebih terdorong untuk belajar sastra  dengan maksimal dan menyenangkan. Disamping itu, Guru Sastra Indonesia hendaknya juga harus mampu menyajikan siswaan itu dengan berbagai macam metode yang menarik dan membuat siswa senang belajar Bahasa Indonesia. Dengan demikian, siswaan Bahasa Indonesia bukan lagi hanya sekedar beban dalam proses kelulusan, tapi siswaan Bahasa Indonesia juga memiliki manfaat dalam kehidupan siswa nantinya. Di antaranya dalam pembentukan karakter siswa, yang mana siswa adalah calon generasi penerus bangsa. Sehingga diharapkan bangsa ini nantinya akan lebih baik moralnya, juga masa depannya.








DAFTAR PUSTAKA
Tomoredjo, Mampuono Rasyidin, Penguasaan ICT: Bekal Guru Profesional Menghadapi Era Global , (online) tersedia pada http://www.jatengklubguru.com.
Undang-Undang no 14 Tahun 2005. tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi.
Uno, Hamzah B. 2009. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2007. Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra: disampaikan pada Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, 10 April 20007. Pernah dipublikasikan di Koran Republika, 29 April 2007.







1 komentar:

  1. Terimakasih untuk sharing ilmunya. Insya Allah semoga beroleh pahala. Aamiin.

    BalasHapus